Senin, 16 September 2013

Rahasia Dalang Jaman Dahulu Menciptakan Sugesti pada Masyarakat dengan Wayang

   Dalam pementasan Wayang yang terjadi pada sejarahnya menggunakan penerapan alam bawah sadar yang telah ditemukan oleh orang-orang jawa pada jaman dulu, oleh sebab itu dalam pelaksanaannya selalu dilakukan pada dini hari, sehingga ketika awalan penampilan goro-goro yang hanya bersifat menghibur berisi tentang punokawan, penonton akan menikmatinya sebagai suatu hiburan belaka. Namun setelah masuk kedalam suatu kisah “Baratayudha” ataupun “Ramayana” adalah waktu dimana memasuki terapi hipnotis yang bertujuan menyatukan satu pola fikir yang sama tentang sejatinya masyarakat yang memiliki etika sifat dan jiwa orang-orang Jawa.

       Terapi ini dilakukan karena melihat dari watak manusia yang memiliki fikiran yang penuh dengan penipuan yang ada dalam dirinya, sehingga untuk menyampaikan pesan yang membangun dan menyatukan satu pola berfikir yang sama akan begitu sangat sulit karena manusia pasti akan mengalami penolakan dengan kepercayaan individu yang datang sebelum menemukan kepercayaan baru. Maka cara yang digunakan oleh orang Jawa dahulu kala dengan cara untuk menembus alam bawah sadar masyarakat umum, keadaan setengah sadar dan setengah tidur itulah saat yang paling cepat memasuki ranah alam bawah sadar seorang individu, karena perlawanan pikiran penipuan yang ada dalam setiap pikiran manusia, generasi apapun tetap ada. Sayangnya pewayangan yang dulunya begitu popular sekarang terkalahkan dengan adanya hiburan dalam alat elektronik yang semakin berkembang pada tiap jamannya, sehingga metode untuk menyatukan suatu kelompok agar memiliki identitas yang sama pun juga mengalami kesulitan yang amat sangat.
Dan sebenarnya terapi inilah yang digunakan oleh Teater Kidung ketika melakukan mekansisme latihan yang terlampau batas, mekanisme yang diambil bukan sekedar menggunakan cara latihan yang sederhana, melainkan mencari titik puncak ketidaksadaran pemain yang dilatih didalamnya, ketika seorang pemain melakukan perintah dengan pasrah tanpa penolakan, disaat itulah energy yang digunakan oleh individu itu bukan lagi kekuatan tubuh melainkan kekuatan yang dibawa memalui jiwa yang ada didalamnya, tanpa disadari seorang pemain telah melampaui kemampuan batas yang ada didalamnya, dan energy itulah yang dibawa ketika pentas, tak jarang ketika proses yang dilakukan oleh Kidung bukanlah bentuk lagi, tetapi aura energy, jelas dengan hal itu pesan apapun akan tersampaikan, karena penonton pun tanpa sadar melihat dari suasana yang dibawa pemainnya bukan bentuk teknisnya.
       Sebenarnya tidak berat layaknya manusia biasa melakukan proses ini, tetapi hanya main set pemikiran manusia yang mempunyai penolakan itu saja yang akan menghambat seseorang untuk melebihi kemampuan dirinya sendiri. Dan musuh dari sebuah proses yang paling utama adalah diri sendiri, mau atau tidak ketika bertekat merombak keadaan tubuh untuk mencapai puncaknya. Hal itu sama juga ketika membangun suatu kelompok, jika modal utama seorang itu untuk berkumpul dan menciptakan dialektika adalah sebatas kehadiran fisik, energy yang diambil adalah teknis kerja, bukan energy penyatuan jiwa.
      Penyakit dalam suatu proses itu adalah kesepian, dan hal itu akan didapatkan oleh setiap orang yang memasuki ranah suatu proses yang dalam, walau pertemuan fisik itu terjadi tiap individu, tetapi individu itu pun juga akan tetap mengalami pengalaman kesepian, wajar hal itu terjadi karena “keAKUan” seseorang memang ada, dan yang merasakan “keAKUan” itu adalah jiwanya, bukan melalui indra menglihatan, pendengaran, atau bentuk fisik yang lainnya. Ketika individu tidak mau untuk menembus rasa kesepian yang ada didalamnya maka pemikiran sebuah karya itu adalah saklek, satu tujuan untuk segera mengakhiri proses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar