Terapi ini dilakukan karena melihat dari watak manusia yang memiliki
fikiran yang penuh dengan penipuan yang ada dalam dirinya, sehingga
untuk menyampaikan pesan yang membangun dan menyatukan satu pola
berfikir yang sama akan begitu sangat sulit karena manusia pasti akan
mengalami penolakan dengan kepercayaan individu yang datang sebelum
menemukan kepercayaan baru. Maka cara yang digunakan oleh orang Jawa
dahulu kala dengan cara untuk menembus alam bawah sadar masyarakat umum,
keadaan setengah sadar dan setengah tidur itulah saat yang paling cepat
memasuki ranah alam bawah sadar seorang individu, karena perlawanan
pikiran penipuan yang ada dalam setiap pikiran manusia, generasi apapun
tetap ada. Sayangnya pewayangan yang dulunya begitu popular sekarang
terkalahkan dengan adanya hiburan dalam alat elektronik yang semakin
berkembang pada tiap jamannya, sehingga metode untuk menyatukan suatu
kelompok agar memiliki identitas yang sama pun juga mengalami kesulitan
yang amat sangat.
Dan
sebenarnya terapi inilah yang digunakan oleh Teater Kidung ketika
melakukan mekansisme latihan yang terlampau batas, mekanisme yang
diambil bukan sekedar menggunakan cara latihan yang sederhana, melainkan
mencari titik puncak ketidaksadaran pemain yang dilatih didalamnya,
ketika seorang pemain melakukan perintah dengan pasrah tanpa penolakan,
disaat itulah energy yang digunakan oleh individu itu bukan lagi
kekuatan tubuh melainkan kekuatan yang dibawa memalui jiwa yang ada
didalamnya, tanpa disadari seorang pemain telah melampaui kemampuan
batas yang ada didalamnya, dan energy itulah yang dibawa ketika pentas,
tak jarang ketika proses yang dilakukan oleh Kidung bukanlah bentuk
lagi, tetapi aura energy, jelas dengan hal itu pesan apapun akan
tersampaikan, karena penonton pun tanpa sadar melihat dari suasana yang
dibawa pemainnya bukan bentuk teknisnya.
Sebenarnya tidak berat layaknya manusia biasa melakukan proses ini,
tetapi hanya main set pemikiran manusia yang mempunyai penolakan itu
saja yang akan menghambat seseorang untuk melebihi kemampuan dirinya
sendiri. Dan musuh dari sebuah proses yang paling utama adalah diri
sendiri, mau atau tidak ketika bertekat merombak keadaan tubuh untuk
mencapai puncaknya. Hal itu sama juga ketika membangun suatu kelompok,
jika modal utama seorang itu untuk berkumpul dan menciptakan dialektika
adalah sebatas kehadiran fisik, energy yang diambil adalah teknis kerja,
bukan energy penyatuan jiwa.
Penyakit
dalam suatu proses itu adalah kesepian, dan hal itu akan didapatkan
oleh setiap orang yang memasuki ranah suatu proses yang dalam, walau
pertemuan fisik itu terjadi tiap individu, tetapi individu itu pun juga
akan tetap mengalami pengalaman kesepian, wajar hal itu terjadi karena
“keAKUan” seseorang memang ada, dan yang merasakan “keAKUan” itu adalah
jiwanya, bukan melalui indra menglihatan, pendengaran, atau bentuk fisik
yang lainnya. Ketika individu tidak mau untuk menembus rasa kesepian
yang ada didalamnya maka pemikiran sebuah karya itu adalah saklek, satu
tujuan untuk segera mengakhiri proses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar